Kebudayaan betawi
Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk
dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang
cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda
budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu
dipelajari.[1]
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya
bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia.[2]
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan
ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi
budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan
oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda
dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam"
di Jepang dan "kepatuhan kolektif"
di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut
membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan
menetapkan dunia makna
dan nilai logis yang dapat dipinjam
anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan
pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu
kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan
memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis
dan bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang
Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang
didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau
suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini
lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup
di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon,
dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India,
Tionghoa, dan Eropa.
Etimologi Betawi
Kata Betawi
digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga
kebudayaan Melayunya. Kata Betawi berasal dari kata
"Batavia," yaitu nama lain dari Jakarta pada masa Hindia Belanda, kemudian penggunaan kata Betawi
sebagai sebuah suku yang termuda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Perkoempoelan Kaoem
Betawi yang lahir
pada tahun 1923.[1]
Sejarah
Diawali oleh
orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan
masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula
pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia
Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Selain itu,
perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada
tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda
Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa
Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir
musik keroncong.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya,
Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan
membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari
penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.[2] Itulah penyebab masih tersisanya
kosa kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan
Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok,
Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing
tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab
dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah
mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia; Kampung Melayu, Kampung
Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di
daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih
terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar
seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas
studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda,
pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau
golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai
golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil
sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah
golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Kemungkinan
kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan
penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap
ke dalam kelompok etnis Betawi.
Suku Betawi
Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang
sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data
sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi
mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas
Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang
Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam
pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas
tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan
terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan
sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan
Perkoempoelan Kaoem
Betawi. Baru pada
waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni
golongan orang Betawi.
Ada juga
yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran
dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di
luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di
luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum
digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Setelah kemerdekaan
Sejak akhir
abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh
Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai
minoritas. Pada tahun 1961, 'suku'
Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta
pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai
digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang
ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu
pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
Seni dan kebudayaan
Budaya
Betawi merupakan budaya mestizo, atau
sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Hindia Belanda, Batavia (kini Jakarta) merupakan
ibu kota Hindia Belanda yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku
yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara,
budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi
sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang.
Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan
oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan
budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
Bahasa
Sifat
campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan
Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan,
baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga
yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku
Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang
berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh
kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis
Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan
bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai
bahasa nasional.
Karena
perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang
tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau
demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap
dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti
kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung
dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan
lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[3] yang saat ini disimpan di
perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun
bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa
percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas
dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi
tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah
"a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai
dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni
daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu,
Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester
(Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet,
Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa
Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan
Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan
Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra
dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa''
(mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan
Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati
dalam cara baca mengaji Al Quran.
Musik
Dalam bidang
kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal
dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu
tradisional seperti "Kicir-kicir".
Tari
Seni tari di
Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di
dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni
tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong
dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan
daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan
gaya dan koreografi yang dinamis.
Drama
Drama
tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini
biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi
lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat
berinteraksi langsung dengan penonton.
Cerita rakyat
Cerita
rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal
seperti Si Pitung, juga
dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan
jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal
"keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan,
juga dikenal cerita Nyai Dasima yang
menggambarkan kehidupan zaman kolonial. creita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan
Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
Senjata tradisional
Senjata khas
Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari
kayu.
Kepercayaan
Sebagian
besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit
sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa
mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal
abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang
membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas
Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap
di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
Profesi
Di Jakarta, orang Betawi sebelum era
pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah
(kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran
Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan
lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal
K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni
oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang
sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah.
Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan
silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari
Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak
zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan.
Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet
aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program
Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke
Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks
olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal
bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India,
Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan
pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
Perilaku dan sifat
Asumsi
kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam
segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi
yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .
Ada beberapa
hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi,
walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung
tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin
dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya.
Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan
hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi
sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan
warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke
masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak
bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini
agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca :
Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang
yang justru akan menopang modernisasi tersebut.
Catatan kaki
Referensi
- Castles, Lance The Ethnic Profile of Jakarta, Indonesia vol.I, Ithaca: Cornell University April 1967
- Guinness, Patrick The attitudes and values of Betawi Fringe Dwellers in Djakarta, Berita Antropologi 8 (September), 1972, pp. 78–159
- Knoerr, Jacqueline Im Spannungsfeld von Traditionalität und Modernität: Die Orang Betawi und Betawi-ness in Jakarta, Zeitschrift für Ethnologie 128 (2), 2002, pp. 203–221
- Knoerr, Jacqueline Kreolität und postkoloniale Gesellschaft. Integration und Differenzierung in Jakarta, Frankfurt & New York: Campus Verlag, 2007
- Saidi, Ridwan. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya
- Shahab, Yasmine (ed.), Betawi dalam Perspektif Kontemporer: Perkembangan, Potensi, dan Tantangannya, Jakarta: LKB, 1997
- Wijaya, Hussein (ed.), Seni Budaya Betawi. Pralokarya Penggalian Dan Pengem¬bangannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1976
- http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi#Seni_dan_kebudayaan
- http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
Tidak ada komentar :
Posting Komentar